ETIKA BISNIS dan PENDIDIKAN

>> Rabu, 22 Desember 2010

Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi
penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis
yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan
swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam
pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar
dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas
lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh
otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi
akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan
daya dukung ekosistem lingkungan.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi
yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor
asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini
terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah
dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai-
nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis
merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan
manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program
manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian
tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu
harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha,
termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan
tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua,
pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak
terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses
pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek afektif/ sikap dalam hal ini—
disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini
cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus
yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang
cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi
pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat.
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilainilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak,
yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa
mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak
mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan
anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman
bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat
mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak
atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan
lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran
etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat
kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua
siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari,
kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam
berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi
peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup
masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya
orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada
anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya
pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para
pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.

(*) Drs. Dedi Purwana E.S., M.Bus. Direktur Eksekutif the Indonesian Council on Economic Education (ICEE)

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html
http://www.duniaesai.com/manajemen/man10.html

Read more...

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN

Ditulis oleh Setyanto P. Santosa
Senin, 13 Agustus 2007
(Disampaikan pada acara Seminar Nasional Audit Internal YPIA, Yogyakarta, 12 – 13 April 2006)

.... being ethically literate is not just about giving large sums of money for charity. It is about recognizing and acting on potential ethical
issues before they become legal problem ( Berenheim).

Kalimat pembuka yang disampaikan oleh Ronald E. Berenheim dari New York University (2001) tampaknya sangat relevan dengan topik kita saat ini. Karena semenjak terjadinya kasus Enron (2001) dan Worldcom (2002) perhatian perusahaan-perusahaan besar kelas dunia terhadap upaya melakukan revitalisasi penerapan etika bisnis dalam perusahaan makin berkembang. Hal ini terutama didesak oleh kepentingan para pemegang saham agar Direksi lebih mendasarkan pengelolaan perusahaan pada etika bisnis, karena pemegang saham tidak ingin kehancuran yang terjadi pada Enron dan Worldcom terulang pada perusahaan mereka. Demikian pula stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya pun tidak ingin tertipu dan ditipu oleh pengelola perusahaan. Walaupun sebelumnya telah diperingatkan pula dengan kasus Baring dengan aktornya Nicholas Leeson (1995).



Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :

* • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
* • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
* • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :

1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :

* • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
* • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
* • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?


Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

* • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
* • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
* • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
* • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.


Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

* • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
* • Memperkuat sistem pengawasan
* • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :

* • Treat others as you would like them to treat you
* • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.


Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

Yogyakarta, 13 April 2006



DAFTAR PUSTAKA
1. Bennis Warren, Spreitzer Gretchen M, Cummings Thomas, The Future of Leadership, Jossey-Bass, San Fransisco (2001).
2. Berenheim Ronald, The Enron Ethics Breakdown, The Conference Board Inc., New York (2001).
3. Cavanagh, G.F. , American Business Values, 3rd Edition, Prentice Hall, New Jersey ( 1990).
4. Fusaro Peter C., and Miller Ross M., What Went Wrong at Enron, John Willey & Sons, New Jersey, 2002.
5. Von der Embse and Wagley R.A.., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, SAM Advanced Management Journal (1994).

http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5602439787405552518

Read more...

Penyimpangan Etika Bisnis Internal

Etika bisnis tidak terbatas hanya mengetengahkan kaidah-kaidah berbisnis yang baik (standar moral) dalam pengertian transaksi jual beli produk saja. Etika juga menyangkut kaidah yang terkait dengan hubungan manajemen dan karyawan. Apa karakteristik yang lebih rinci dari masalah deviasi etika bisnis seperti itu di dalam perusahaan? Yang paling nyata terlihat adalah terjadinya konflik atasan dan bawahan. Hal ini timbul antara lain akibat ketidakadilan dalam penilaian kinerja, manajemen karir, manajemen kompensasi, dan sistem pengawasan dan pengembangan SDM yang diskriminatif. Semakin diskriminatif perlakuan manajemen terhadap karyawannya semakin jauh perusahaan menerapkan etika bisnis yang sebenarnya. Pada gilirannya akan menggangu proses dan kinerja bisnis perusahaan. Namun dalam prakteknya pembatasan sesuatu keputusan manajemen itu etis atau tidak selalu menjadi konflik baru. Hal ini karena lemahnya pemahaman tentang apa itu yang disebut etika bisnis, masalah etika, dan lingkup serta pendekatan pemecahannya.

Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor: (1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral, atau nilai terdalam dari manusia, (2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau menjengkelkan, (3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi harus siap dengan citra buruk atau menarik produk dari pasar namun bakal merugi, dan (4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.

Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan. Seperti diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam proses penilaian kinerja, standar penilaian, dan perbedaan persepsi atasan-bawahan tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan, dan loyalitas kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam penseleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan. Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan kemudian keluar dari perusahaan.

Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan kepentingan karyawan secara adil.Untuk memperkecil terjadi penyimpangan penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu (a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan, dan (b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah pertimbangan keputusan berbasis kepentingan perusahaan yang lebih besar secara keseluruhan.

Ditulis dalam Iklim bisnis, MSDM
Oleh: sjafri mangkuprawira | Desember 26, 2007
http://ronawajah.wordpress.com/2007/12/26/penyimpangan-etika-bisnis-internal/

Read more...

Etika Bisnis, membangun kepedulian dalam perusahaan dan masyarakat

Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.

Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.

Contoh kasus di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.

Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.

Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat

Sumber :
file:///E:/etika-bisnismembangun-kepedulian-dalam.html

Read more...

About this Blog

Seguidores

    © Angelina Trisnawati. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP